Home » » FATWA TENTANG PENETAPAN 1 SYAWAL DAN 1 RAMDHAN

FATWA TENTANG PENETAPAN 1 SYAWAL DAN 1 RAMDHAN

Written By Unknown on Friday, July 6, 2012 | 5:34 PM



Perselisihan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha kerap sekali terjadi. Semestinya dalam dua peristiwa penting ini kaum Muslimin dapat secara serempak memulai puasa dan merayakan Idul Fitri.

Kenyataannya, perbedaan pendapat dalam hal penetapan masuk dan berakhirnya bulan Ramadhan terjadi antara satu negara dengan negara lain. Bahkan, pernah dijumpai dua negara bertetangga (sama-sama negara kaum Muslim) memiliki selisih selama tiga hari.

Mengenai masalah memulai dan mengakhiri puasa, selama beberapa tahun kami juga melihat perbedaan yang sangat jauh dalam satu negara, yaitu di Jazirah Arab bagian barat.

Hal itu disebabkan mereka mengikuti perbedaan yang terjadi di negara-negara Islam dan negara-negara Arab lainnya mengenai masalah ini.

Sebagian umat Islam berpuasa bersamaan dengan Kerajaan Arab Saudi dan sebagian negara Teluk di timur. Sebagian lagi mulai berpuasa pada hari berikutnya bersamaan dengan negara tetangga, yakni Aljazair dan Tunisia di kawasan barat.

Sedangkan sebagian besar orang berpuasa pada hari sesudahnya lagi, karena mengikuti pengumuman Departemen Agama yang bertanggung jawab di negara masing-masing.

Peristiwa serupa terjadi pula pada kali lain ketika mengakhiri bulan Ramadhan untuk memulai bulan Syawal dan menetapkan hari raya. Maka sebagian berhari raya pada suatu hari, sedangkan sebagian lainnya berhari raya setelah dua hari. Apakah perbedaan pendapat di antara kaum Muslim ini masih dapat ditolerir?

Mengapa kaum Muslim tidak menggunakan hisab falaki? Padahal pada zaman kita sekarang ilmu ini sudah demikian maju, sehingga manusia bisa naik ke bulan. Apakah dengan perantaraan ilmu yang telah diajarkan Allah itu dapat diketahui kapan mulai terbitnya hilal (tanggal satu Qamariyah)?

Kondisi seperti ini telah dijadikan alasan oleh sebagian orientalis untuk melontarkan tuduhan bahwa Islam tidak mampu menghadapi perkembangan zaman. Bahkan, kebanyakan budayawan dan cendekiawan mereka melontarkan kelemahan dan keterbelakangan ini kepada para cendekiawan Muslim dari kalangan ulama dan akademisi atau kalangan perguruan tinggi yang menisbatkan diri kepada syara’ dan agama.


Apakah pintu ijtihad dalam hal ini sudah benar-benar tertutup karena hadits syarif menyebutkan, "Berpuasalah kamu karena melihat hilal (tanggal 1 Ramadhan) dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihat hilal."


Ataukah karena puasa dan berbuka (ber-Idul Fitri) itu bergantung pada hasil "melihat", bukan dengan hisab? Ataukah dalam masalah ini masih boleh dilakukan ijtihad?

Syariat Islam yang lapang ini memfardhukan puasa pada bulan Qamariyah. Penetapan masuknya bulan ini menggunakan wasilah alami yang mudah dan sederhana bagi semua umat, tidak sulit dan tidak rumit, karena umat (lslam) pada waktu itu merupakan umat yang buta huruf, tidak dapat menulis dan tidak dapat menghisab.

Wasilah tersebut ialah melihat bulan (tanggal 1) dengan mata kepala. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda, “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Apabila terhalang penglihatanmu oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban 30 hari."

Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW menyebut-nyebut bulan Ramadhan lalu bersabda, "Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal (1 Ramadhan) dan janganlah kamu berbuka (berlebaran) sehingga kamu melihat hilal (1 Syawal). Dan jika penglihatanmu tertutup oleh awan, maka kira-kirakanlah bulan itu."

Hal demikian merupakan rahmat bagi umat ini, karena Allah tidak membebani mereka untuk menggunakan hisab, sedangkan mereka (pada waktu itu) belum mengerti hisab dan tidak dapat melakukannya dengan baik.

Kalau mereka dibebani melakukan hisab, sudah barang tentu mereka akan taklid kepada orang lain baik dari kalangan ahli kitab maupun lainnya, yang tidak seagama dengan mereka (Islam).

Source: republika.co.id

0 komentar: