Home » » BOLEHKAH NEGARA MENJATUHKAN HUKUMAN MATI?

BOLEHKAH NEGARA MENJATUHKAN HUKUMAN MATI?

Written By Unknown on Wednesday, May 2, 2012 | 5:09 AM



Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kejahatan de ngan ancaman hukuman mati. Opsi ini (hukuman mati--Red) merupakan sanksi yang paling berat dikenakan terhadap pelaku tindak ke ja hatan berat dan menyangkut pihak yang berwenang dan berkepentingan, serta berkaitan dengan nilainilai kemanusiaan yang adil dan beradab.

Ada beberapa produk hukum di Indonesia yang memiliki konsekuensi sanksi berupa hukuman mati, antara lain, kejahatan terhadap negara (Pasal 104, 111 ayat 2, 124 ayat 3, dan 140 ayat 3 KUHP), pembunuhan dengan berencana (Pasal 340 KUHP), dan Undang-Undang tentang Narkotika dan Obat- Obatan Psikotropika.

Hanya saja, pemberlakuannya menuai pro-kontra di kalangan masyarakat. Oleh sebagian kalangan, hukuman mati dianggap sebagai pengebirian terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk tetap hidup. Di sisi lain, kehadiran hukuman mati, menghadirkan rasa adil atas tindak kriminalitas yang dilakukan oleh pelaku. Lantas, bolehkah negara, selaku pemegang otoritas hukum menjatuhkan hukuman mati terhadap terdakwa kasus tindak pidana yang tergolong berat?

Dalam buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dijelaskan bahwa pada dasarnya, Islam mengakui eksistensi hukuman mati dan memberlakukannya dalam tindak pidana (jarimah) hudud, qi shash, dan ta’zir. Berkaitan dengan qishash, misalnya, ada sejumlah ayat yang mendasari pemberlakuan hukuman mati tersebut.

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demi ki an itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas se sudah itu, baginya siksa yang sa ngat pedih. (QS al-Baqarah [2] : 178).

Sedangkan dalil pelaksanaan hukuman mati atas hudud, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit RA. Ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: ‘Ambillah dariku (terimalah hukum dariku)! Ambillah dariku (terimalah hukum dariku)! Allah telah menetapkan suatu jalan (ketentuan hu kum) bagi perempuan-perempuan itu, mereka yang belum kawin (jika berzina), dengan orang yang belum kawin hukumnya adalah cambuk 100 kali dan diasingkan satu tahun; dan (hukuman) yang sudah kawin (jika berzina) dengan yang sudah kawin hukumannya dijilid 100 kali dan dirajam’.” (HR Muslim). Lantas, siapakah yang boleh mengeksekusi hukuman tersebut? Apakah negara memiliki kewenangan melaksanakannya?

Islam juga mengakui hukuman mati atas tindakan onar dan kejahatan publik yang menimbulkan korban jiwa di berbagai pihak. Ter masuk misalnya, pertikaian dua kelompok yang sulit didamaikan. Allah SWT berfirman: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”(QS al-Hujuraat [47]: 9).

Politik hukum
Masih menurut fatwa MUI tersebut, berdasarkan dalil pengakuan atas eksistensi tersebut, negara di nyatakan boleh menjatuhkan dan melakukan hukuman mati kepada pelaku kejahatan tertentu. Dalam Kitab Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Syekh Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa orang yang kejahatannya di muka bumi tidak dapat dihentikan kecuali dengan di bunuh, maka ia (harus) dibunuh; misalnya orang yang memecah belah kaum Muslimin dan orang yang mengajak ke bidah agama.

Dalam karya monumentalnya di bidang fikih tersebut, Syekh Wahbah berkesimpulan bahwa hukumnya boleh menjatuhkan hukuman mati sebagai siyasah (politik hu kum) kepada orang, yang selalu melakukan kejahatan (berupa gangguan terhadap) keamanan, negara, dan sebagainya.

0 komentar: