Saat Rasulullah SAW terbaring sakit, para istri beliau berkumpul. Tak satupun dari mereka yang meninggalkan tempatnya. Hingga Fatimah, putri Rasulullah datang menjenguk dengan berjalan kaki. Kedatangannya pun disambut oleh Aisyah, kemudian diterima dengan hangat oleh Ayahnya. Putri yang berjuluk Az Zahra, itupun duduk di dekat Rasulullah.
Tak berselang lama, Rasulullah membisikkan sesuatu kepada Fatimah, kemudian ia menangis sekeras-kerasnya. Melihat kecemasan muncul dari wajah putrinya itu, Beliau lantas kembali menyampaikan sesuatu kepadanya. Seketika itu pula, tangisnya berganti riang senyum dan tawa. Pemandangan itu terlihat jelas di mata Aisyah.
Perempuan bergelar Ummul Mu’minin (Ibu Kaum Mukmin) itu pun penasaran dan bergegas bertanya ke Fatimah, apa gerangan yang dibisikkan oleh Rasulullah kepada putrinya tersebut. Namun, permintaan itu ditolak oleh Fatimah. “Aku tidak akan membuka rahasia Rasulullah,” katanya menampik. Rahasia itu akhirnya dibeberkan sepeninggal Rasulullah. Isinya meliputi dua hal yaitu ajal Rasulullah yang kian dekat dan apresiasi beliau kepada anaknya itu berupa gelar pemimpin perempuan mukiman atau pemimpin perempuan umat.
Kisah lainnya juga pernah dinukil. Ketika tengah bermain bersama anak-anak, Anas bin Malik RA pernah didatangi oleh Rasululllah SAW. Setelah mengucapkan salam, beliau, mengutusku untuk suatu keperluan sehingga ia terlambat pulang untuk menemui ibunya, Ummu Salim. Setibanya di rumah, sahabat yang mendapat julukan Khadim ar Rasul (Pelayan Rasulullah), langsung mendapat pertanyaan dari ibunya perihal sebab keterlambatannya itu. ”Apakah yang menahanmu hingga terlambat pulang?,” Tanya Sang Ibu.
Sahabat yang berasal dari suku Khazraj itu pun enggan menjawab. Cukup mengatakan bahwa ia terlambat sebab keperluan yang disuruh Rasulullah. Keperluan apa yang dimaksud? “Itu rahasia,”katanya mengelak. Ummu Salim, memahami dan meminta agar ia tetap menjaga rahasia itu. “Janganlah kamu sekali-kali membuka rahasia Rasulullah SAW kepada siapapun,” pintanya.
Rahasia, dalam bahasa Arab disebut sirr. Informasi apapun yang diperoleh seseorang dari koleganya ataupun institusi tempat ia bekerja, contohnya, adalah benda berharga yang harus tetap disimpan. Islam mengajarkan agar tidak membuka dan mengumbar-umbar rahasia. Anjuran ini berlaku untuk semua dan dimanapun ia memegang fungsi. Seorang suami contohnya, berkewajiban menyimpan rahasia istri, anak, dan keluarganya. Demikian sebaliknya. Pada intinya, tiap anggota keluarga memiliki kewajiban sama yaitu menutup rapat rahasia.
Tiap karyawan, bertanggung jawab mengamankan rahasia perusahaan tempat ia mencari nafkah. Perkara yang dianggap rahasia dan tidak boleh terbongkar oleh pihak lain, wajib dijaga. Hal ini mengingat, persaingan di dunia bisnis, terkadang menafikan batas etika. Bisa jadi, di dunia industri misalnya, perusahaan tertentu mencoba mencuri formula dan temuan teranyar dari sebuah pabrik
Mahmud Al Mishri, dalam bukunya Mausu’ah in Akhlaq Ar Rasul, mengatakan menjaga rahasia yang sifatnya terpuji merupakan salah satu bentuk amanah, salah satu jenis memenuhi janji, dan tanda perilaku yang tenang. Menjaga rahasia yang terpuji adalah menyembunyikan rahasia atau aib orang lain yang dipercayakan kepada seseorang untuk menyimpannya.
Karena itu, menurutnya, pemilik rahasa semestinya berhati-hati menempatkan rahasia pribadinya. Pasalnya, orang-orang yang meminta amanat atau kepercayaan biasanya akan berlaku khianat. Rahasia yang kurang terjaga dengan baik, akan mudah tersebar. Ada beberapa faktor penyebanya antara lain banyaknya orang yang mengetahui rahasia tersebut. Sekali saja rahasia itu disebarkan pada lebih dari satu hingga tiga orang, maka tak lagi dianggap rahasia. Ali bin Abi Thalib berkata, “Rahasiamu adalah tawananmu. Jika kamu telah membicarakannya kepada orang lain, berarti kamu telah melepaskannya.”
Mahmud menambahkan dampak yang bisa muncul akibat rahasia tersebar luas sangat luarbiasa, diantaranya menyebarkan rahasia berarti menghinati amanah dan merusak perjanjian, membuka rahasia dapat menghapus muruah, merusak persaudaraan, dan memicu pertikaian. Sebaliknya, dengan mengunci erat rahasia, akan menempatkannya dalam derajat manusia yang sempurna. Termasuk memberikan banyak faedah dunia ataupun di akhirat kelak.
Boleh dibuka, asal?
Ibnu Baththal mengatakan mayoritas ulama berpendapat bahwa apabila si pemilik rahasia sudah meninggal, tidak ada keharusan menyembunyikan rahasianya. Kecuali rahasia tersebut adalah cacat atau aibnya. Ibnu Hajar menyebut tiga klasifikasi hukum menyebarluaskan rahasia yaitu haram jika rahasia itu tak kalin ialah aib, makruh secara mutlak, boleh, dan dianjurkan. Untuk kategori yang terakhir ini misalnya membuka rahasia meskipun pemilik rahasia kurang senang, seperti mengungkap kebersihan hati atau perilaku baik yang ia miliki.
Selain itu, menurut Imam Ghazali, hukum membuka rahasia haram dan sangat dilarang. Hikmah di balik pelarangan itu yaitu, terdapat unsur menyakiti dan meremehkan hak-hak teman apalagi hingga dapat membayakan pemilik rahasia. Bila tidak terdapat unsur membahayakan, maka termasuk kategori tercela.
Dalam pandangan Pakar Ushul Fikih dari kalangan salaf, Izz bin Abd As Salam, secara garis besar menutup aib manusia adalah tabiat manusia yang menjadi kekasih Allah. Namun, dalam beberapa kondisi, adakalanya rahasia ataupun aib itu boleh dibeberkan. Terutama jika ada maslahat atau menghilangkan bahaya. Argumentasi dalilnya merujuk pada kisah Nabi Yusuf, saat menceritakan ajakan istri Aziz untuk berbuat mesum dan melanggar larangan-Nya.
Tak berselang lama, Rasulullah membisikkan sesuatu kepada Fatimah, kemudian ia menangis sekeras-kerasnya. Melihat kecemasan muncul dari wajah putrinya itu, Beliau lantas kembali menyampaikan sesuatu kepadanya. Seketika itu pula, tangisnya berganti riang senyum dan tawa. Pemandangan itu terlihat jelas di mata Aisyah.
Perempuan bergelar Ummul Mu’minin (Ibu Kaum Mukmin) itu pun penasaran dan bergegas bertanya ke Fatimah, apa gerangan yang dibisikkan oleh Rasulullah kepada putrinya tersebut. Namun, permintaan itu ditolak oleh Fatimah. “Aku tidak akan membuka rahasia Rasulullah,” katanya menampik. Rahasia itu akhirnya dibeberkan sepeninggal Rasulullah. Isinya meliputi dua hal yaitu ajal Rasulullah yang kian dekat dan apresiasi beliau kepada anaknya itu berupa gelar pemimpin perempuan mukiman atau pemimpin perempuan umat.
Kisah lainnya juga pernah dinukil. Ketika tengah bermain bersama anak-anak, Anas bin Malik RA pernah didatangi oleh Rasululllah SAW. Setelah mengucapkan salam, beliau, mengutusku untuk suatu keperluan sehingga ia terlambat pulang untuk menemui ibunya, Ummu Salim. Setibanya di rumah, sahabat yang mendapat julukan Khadim ar Rasul (Pelayan Rasulullah), langsung mendapat pertanyaan dari ibunya perihal sebab keterlambatannya itu. ”Apakah yang menahanmu hingga terlambat pulang?,” Tanya Sang Ibu.
Sahabat yang berasal dari suku Khazraj itu pun enggan menjawab. Cukup mengatakan bahwa ia terlambat sebab keperluan yang disuruh Rasulullah. Keperluan apa yang dimaksud? “Itu rahasia,”katanya mengelak. Ummu Salim, memahami dan meminta agar ia tetap menjaga rahasia itu. “Janganlah kamu sekali-kali membuka rahasia Rasulullah SAW kepada siapapun,” pintanya.
Rahasia, dalam bahasa Arab disebut sirr. Informasi apapun yang diperoleh seseorang dari koleganya ataupun institusi tempat ia bekerja, contohnya, adalah benda berharga yang harus tetap disimpan. Islam mengajarkan agar tidak membuka dan mengumbar-umbar rahasia. Anjuran ini berlaku untuk semua dan dimanapun ia memegang fungsi. Seorang suami contohnya, berkewajiban menyimpan rahasia istri, anak, dan keluarganya. Demikian sebaliknya. Pada intinya, tiap anggota keluarga memiliki kewajiban sama yaitu menutup rapat rahasia.
Tiap karyawan, bertanggung jawab mengamankan rahasia perusahaan tempat ia mencari nafkah. Perkara yang dianggap rahasia dan tidak boleh terbongkar oleh pihak lain, wajib dijaga. Hal ini mengingat, persaingan di dunia bisnis, terkadang menafikan batas etika. Bisa jadi, di dunia industri misalnya, perusahaan tertentu mencoba mencuri formula dan temuan teranyar dari sebuah pabrik
Mahmud Al Mishri, dalam bukunya Mausu’ah in Akhlaq Ar Rasul, mengatakan menjaga rahasia yang sifatnya terpuji merupakan salah satu bentuk amanah, salah satu jenis memenuhi janji, dan tanda perilaku yang tenang. Menjaga rahasia yang terpuji adalah menyembunyikan rahasia atau aib orang lain yang dipercayakan kepada seseorang untuk menyimpannya.
Karena itu, menurutnya, pemilik rahasa semestinya berhati-hati menempatkan rahasia pribadinya. Pasalnya, orang-orang yang meminta amanat atau kepercayaan biasanya akan berlaku khianat. Rahasia yang kurang terjaga dengan baik, akan mudah tersebar. Ada beberapa faktor penyebanya antara lain banyaknya orang yang mengetahui rahasia tersebut. Sekali saja rahasia itu disebarkan pada lebih dari satu hingga tiga orang, maka tak lagi dianggap rahasia. Ali bin Abi Thalib berkata, “Rahasiamu adalah tawananmu. Jika kamu telah membicarakannya kepada orang lain, berarti kamu telah melepaskannya.”
Mahmud menambahkan dampak yang bisa muncul akibat rahasia tersebar luas sangat luarbiasa, diantaranya menyebarkan rahasia berarti menghinati amanah dan merusak perjanjian, membuka rahasia dapat menghapus muruah, merusak persaudaraan, dan memicu pertikaian. Sebaliknya, dengan mengunci erat rahasia, akan menempatkannya dalam derajat manusia yang sempurna. Termasuk memberikan banyak faedah dunia ataupun di akhirat kelak.
Boleh dibuka, asal?
Ibnu Baththal mengatakan mayoritas ulama berpendapat bahwa apabila si pemilik rahasia sudah meninggal, tidak ada keharusan menyembunyikan rahasianya. Kecuali rahasia tersebut adalah cacat atau aibnya. Ibnu Hajar menyebut tiga klasifikasi hukum menyebarluaskan rahasia yaitu haram jika rahasia itu tak kalin ialah aib, makruh secara mutlak, boleh, dan dianjurkan. Untuk kategori yang terakhir ini misalnya membuka rahasia meskipun pemilik rahasia kurang senang, seperti mengungkap kebersihan hati atau perilaku baik yang ia miliki.
Selain itu, menurut Imam Ghazali, hukum membuka rahasia haram dan sangat dilarang. Hikmah di balik pelarangan itu yaitu, terdapat unsur menyakiti dan meremehkan hak-hak teman apalagi hingga dapat membayakan pemilik rahasia. Bila tidak terdapat unsur membahayakan, maka termasuk kategori tercela.
Dalam pandangan Pakar Ushul Fikih dari kalangan salaf, Izz bin Abd As Salam, secara garis besar menutup aib manusia adalah tabiat manusia yang menjadi kekasih Allah. Namun, dalam beberapa kondisi, adakalanya rahasia ataupun aib itu boleh dibeberkan. Terutama jika ada maslahat atau menghilangkan bahaya. Argumentasi dalilnya merujuk pada kisah Nabi Yusuf, saat menceritakan ajakan istri Aziz untuk berbuat mesum dan melanggar larangan-Nya.
Oleh Nashih Nashrullah
0 komentar:
Post a Comment