Home » » HUKUM TERORISME MENURUT FATWA MUI

HUKUM TERORISME MENURUT FATWA MUI

Written By Unknown on Saturday, March 24, 2012 | 8:40 AM


Bom bunuh diri yang dilakukan M Syarif di Masjid Adz-Dzikra, Mapolresta Cirebon, dan penemuan beberapa bom di sejumlah tempat di Jakarta menunjukkan bahwa ancaman terorisme masih menghantui negara ini.

Padahal jelas-jelas ditegaskan sejumlah ulama dan pimpinan ormas Islam bahwa bom bunuh diri, maupun aksi terorisme adalah perbuatan teror yang hukumnya haram. Bahkan jauh sebelumnya, pada 2004 Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa terkait dengan terorisme.

Dalam Fatwa No. 3 Tahun 2004 Tentang Terorisme tersebut, MUI menegaskan bahwa segala tindakan teror yang menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat hukumnya haram.

Menurut MUI, tindakan terorisme dengan berbagai bentuknya yang terjadi di beberapa negara, termasuk Indonesia, telah menimbulkan kerugian harta dan jiwa serta rasa tidak aman di kalangan masyarakat.

Tindakan terorisme, kata MUI, terjadi karena beberapa persepsi, sebagian menganggapnya sebagai ajaran agama Islam dan karena itu, ajaran agama Islam dan umat Islam harus diwaspadai. Sedang sebagian yang lain menganggapnya sebagai jihad yang diajarkan oleh Islam, dan karenanya harus dilaksanakan walaupun harus dengan menanggung resiko terhadap harta dan jiwa sendiri maupun orang lain.

Berdasarkan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada 16 Desember 2003 telah menetapkan fatwa tentang terorisme. MUI Memfatwakan terorisme atau aksi bom bunuh diri sebagai perbuatan yang diharamkan.

Hal ini berdasarkan firman Allah SWT antara lain: “Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan berusaha melakukan kerusakan di muka bumi, yaitu mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang. Yang demikian itu suatu kehinaan bagi mereka di dunia sedangkan di akhirat mereka mendapat siksa yang pedih.” (QS Al-Maidah: 33).

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar dan dianiaya maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS An-Nisa’: 29-30)

“Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh
orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya…” (QS. Al-Maidah: 32)

Adapun dalil-dalil yang berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW antara lain: “Tidak halal bagi seorang Muslim menakut-nakuti orang Muslim lainnya.” (HR Abu Dawud).

“Barangsiapa mengacungkan senjata tajam kepada saudaranya (Muslim) maka Malaikat akan melaknatnya sehingga ia berhenti.” (HR Muslim)

“Barangsiapa yang menjatuhkan diri dari sebuah gunung lalu ia terbunuh maka ia akan masuk neraka dalam keadaan terhempas di dalamnya, kekal lagi dikekalkan di dalamnya selama-lamanya” (HR Bukhari-Muslim).

Berdasarkan Qa’idah Fiqhiyah antara lain: “Dharar yang bersifat khusus harus ditanggung untuk menghindarkan dharar yang bersifat umum (lebih luas).”

“Apabila terdapat dua mafsadat yang saling bertentangan maka harus diperhatikan salah satu-nya dengan mengambil dharar yang lebih ringan.”

Berdasarkan dalil-dalil di atas, MUI menilai terorisme telah memenuhi unsur tindak pidana (jarimah) hirabah dalam khazanah fikih Islam. "Para fuqaha mendefinisikan almuharib (pelaku hirabah) dengan, 'orang yang mengangkat senjata melawan orang banyak dan menakut-nakuti mereka (menimbulkan rasa takut di kalangan masyarakat),” kata MUI.

MUI juga menegaskan tentang perbedaan terorisme dan jihad. Keduanya tidak sama. Terorisme, menurut MUI, terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well organized), bersifat trans-nasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiskrimatif).

Sedangkan jihad mengandung dua pengertian; segala usaha dan upaya sekuat tenaga serta kesediaan untuk menanggung kesulitan di dalam memerangi dan menahan agresi musuh dalam segala bentuknya. Jihad dalam pengertian ini juga disebut al-Qital atau al-Harb. Dan segala upaya yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan untuk menjaga dan meninggikan agama Allah (li i’la'ai kalimatillah).

Terorisme, sifatnya merusak (ifsad) dan anarkis (faudha). Tujuannya untuk menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan pihak lain, dan dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas.

Sedangkan jihad, sifatnya melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara peperangan. Tujuannya untuk menegakkan agama Allah dan atau membela hak-hak pihak yang terzalimi. Dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syari’at dengan sasaran musuh yang sudah jelas.

Oleh sebab itu, tegas Komisi Fatwa MUI, hukum melakukan teror adalah haram, baik dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun negara. Sedangkan hukum melakukan jihad adalah wajib.

Demikian pula, dalam Fatwa No. 3 Tahun 2004 Tentang Terorisme tersebut, MUI menegaskan tentang perbedaan bom bunuh diri dan Amaliyah Al-Istisyhad. "Orang yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri. Sementara pelaku Amaliyah Al-Istisyhad mempersembahkan dirinya sebagai korban demi agama dan umatnya," jelas MUI.

"Orang yang bunuh diri adalah orang yang pesimis atas dirinya dan atas ketentuan Allah sedangkan pelaku Amaliyah al-Istisyhad adalah manusia yang seluruh cita-citanya tertuju untuk mencari rahmat dan keridhaan Allah SWT," tambah MUI dalam Fatwa tersebut.

Oleh sebab itu, MUI menegaskan bahwa bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan keputusasaan (al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri (ihlak an-nafs), baik dilakukan di daerah damai (dar al-salam/dar al-da'wah) maupun di daerah perang (dar al-harb).

Sedangkan, Amaliyah Al-Istisyhad (tindakan mencari kesyahidan) dibolehkan karena merupakan bagian dari jihad binnafsi yang dilakukan di daerah perang (dar al-harb) atau dalam keadaan perang dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut (irhab) dan kerugian yang lebih besar di pihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan terbunuhnya diri sendiri. "Amaliyah Al-Istisyhad berbeda dengan bunuh diri," tegas MUI.


Source: Fatwa MUI

0 komentar: